Jumat, 26 Februari 2010

ketika hidup (tidak) bisa diatur mood

Bagi beberapa orang, mood menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka. Malah ada juga yang hidupnya diatur oleh mood, bekerja bagaimana mood, bersenang-senang bagaimana mood, pokoknya semuanya tergantung pada mood.

Saya sendiri sebenernya juga sering kali hidup dengan mood ini, bahkan saya punya prinsip kalau kata malas itu adalah alasan yang paling tetap dan tidak terbantahkan jika saya tidak ingin melakukan sesuatu atau malas melakukan sesuatu.

Kalau sudah malas, maka hampir tidak ada yang bisa membuat saya melakukan seusuatu.

Tapi, sejak akhir tahun kemarin, ternyata tanpa disadari beberapa perubahan besar terjadi dalam diri saya. Mulai saat ini, hidup saya ternyata tidak boleh dan tidak bisa lagi bergantung pada mood. 

Hidup sebagai penulis sedikit banyak akan berhubungan dengan tenggat waktu atau kuota tulisan yang diharuskan atau telah disepakati untuk ditulis, untuk setiap hari dan bertambah di hari-hari tertentu.

Untuk setiap harinya saya diharuskan menulis 2 tulisan selama weekdays dan di weekend ada 2 tenggat waktu tulisan saya lainnya yang harus dikerjakan, belum lagi blog pribadi yang sering terbengkalai itu. Saya tidak mengeluh, saya sangat bahagia dengan pekerjaan ini, karena merupakan salah satu pekerjaan impian yang ternyata sudah bisa saya capai di umur yang belum 30 tahun. Saya sangat menikmatinya.

Tapi kadang-kadang saya juga membayangkan, bagaimana jadinya kalau sistem kerja saya harus diatur mood, bisa kacau balau. tenggat waktu 2 tulisan setiap hari mungkin terdengar berat, tapi saya menyukainya, membuat saya tetap fokus dan tau apa yang harus saya kerjakan setiap harinya. Dan bayangkan saja jika saya menyerah pada mood saya, malas untuk menulis, bisa berantakkan semua.

Di titik ini kemudian saya menyadari bahwa pilihan akan menimbulkan konsekuensi, pada awalnya mungkin saya tidak melihat konsekuensi apa-apa dari pilihan menjadi penulis ini, yang penting nulis, bisa membangun brand nama sendiri dan tentu saja mendapat penghasilan.

Tapi ternyata tenggat waktu membuat saya malah bisa menentukan rencana, meski terdengar mengancam, kini saya lebih memaknai tenggat waktu dengan sudut pandang yang lebih positif.

Kini setiap hari saya tau harus berbuat apa, saya tau apa yang harus saya tulis, saya tau saya harus mencari bahan dimana dan saya tau ada semacam titik yang harus saya capai setiap hari. Jika saya kini mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk berjalan-jalan, bersosialisai, itu memang perlu waktu untuk mencari dan mengatur bagaimana sistem kerja menulis agar semuanya bisa terpenuhi, tapi saya masih menyempatkan untuk berjalan-jalan di sore tertentu, sekedar mampir ke toko buku teman saya, melamun atau berjalan-jalan di mall dan melihat seperti apa sih update terbaru kehidupan sosial di Bandung ini.

Mood memang tidak bisa hilang diri saya, itu semacam kodrat yang memang akan terus melekat kemana pun saya pergi, bahkan terkadang saya juga merindukan mood dan sering berleha-leha hanya untuk melayani mood dalam taraf maksimal, apalagi kalau sedang mood galau, itu memang tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Tapi tenggat waktu ternyata memang bisa ditanggapi dengan positif, meski kadang tergesa-gesa ketika kata ini terus datang seperti menunjuk-nunjuk, dan jam sudah bukan lagi patokan untuk mengatur waktu istirahat, tapi tenggat waktu memberikan kegunaannya ketika  hidup memang perlu ditata dan pengaturan waktu membutuhkan supervisor.

Jadi selain teman-teman baru saya si bruno, holga hitam manis dan si sasongko komputer desktop pacarnya nurlela, dan satu teman baru saya yang belum punya nama, kini saya punya teman baru: perkenalkan namanya 'tenggat waktu'. :D
ketika hidup (tidak) bisa diatur moodSocialTwist Tell-a-Friend

Jumat, 12 Februari 2010

we are a big family


masuk pada hari minggu berarti masuk pada ide dan tulisan baru.

minggu ini menjadi salah satu minggu bahagia karena beberapa perkembangan baru ditempat kerja saya yang cukup menggembirakan, dan satu lagi, akhirnya setelah hampir jalan dua tahun, nurlela si laptop primadona saya itu, kemaren mendapatkan pendampingnya, senang rasanya akhirnya si nurlela punya pasangan hidup, namanya sasongko, semoga mereka bisa langgeng dan terus saling mengasihi.

berbicara tentang teman, pasagang dalam hidup, saya jadi ingat beberapa minggu yang lalu saya bertemu dengan sebuah keadaan yang membuat saya tersenyum dan terenyuh.

suatu hari minggu yang cerah, saya kebetulan berangkat pagi ke tempat kerja saya, dan merasa lapar, kemudian saya memutuskan untuk makan di daerah cihapit. salah satu wilayah paling tua di bandung yang kini terkenal dengan jajanan pinggir jalannya yang enak, mulai dari baso tahu, cakue, sampai kupat tahu.

saya memilih makan kupat tahu, sambil menunggu pesanan datang, saya memperhatikan lingkungan sekitar, ada deretan toko di sana, yang didepannya juga diisi oleh berbagai pedagang  jualan, selain pedagang jajanan makanan. 

ada pedagang majalah, ada tukang buah-buahan, ada tukang macem-macem. hampir di seluruh toko, didepannya ada tukang pinggir jalan.

suasana akrab khas pinggir jalan menghiasai minggu pagi saya yang menjelang siang itu. suasana kekeluargaan yang, membuat saya tersenyum dan berpikir, bahwa ternyata kita ini adalah sebuah keluarga besar.

ada bapak-bapak penjual majalah disana yang bercanda dengan anak pemilik toko, mereka bercanda khas tentang, betapa sudah besar sekarang si anak itu dan waktu begitu tidak terasa.

saya jadi berpikir tentang rutinitas jualan tersebut, pagi-pagi mereka bersiap, lalu berdagang, membersihkan sampah lalu pulang, dan besoknya mereka melakukan hal yang sama lagi, terus begitu sampai puluhan tahun.

rutinitas yang sudah menjadi kehidupan mereka sendiri, rutinitas yang kemudian bersinggungan dengan tukang dagang lain, pemilik toko, sampai pembeli langganan, yang semuanya kemudian membentuk sebuah keluarga baru.

mungkin kadang-kadang para pedagang itu juga membawa keluarga mereka dirumah untuk dikenalkan pada 'keluarga' mereka yang sehari-hari menemani mereka berjualan. satu pedagang ke pedagang yang lain, ke pemilik toko, ke keluarganya pemilik toko, ke pembeli ke keluarga pembeli, begitu terus sehingga membentuk sebuah lingkaran perkenalan, teman, sahabat dan leluarga yang besar, semakin besar dan terus membesar.

waktu puluhan tahun adalah waktu pembentukan keluarga yang, memang pasti tidak selamanya harmonis.

tapi, dari sana saya tersenyum, bahwa betapa senangnya ketika kita merasa menjadi satu keluarga besar dan masing-masing saling menghargai dan menghormati, percekcokkan pasti akan ada, tapi jika sebagai keluarga, teman, sahabat, segala masalah bisa diselesaikan dengan kekeluargaan.

betapa bahagianya ketika kita masuk ke lingkungan baru, kita disapa sebagai calon anggota keluarga baru, basa-basi sana sini, besoknya dateng lagi, menjadi rutin dan akhirnya basa-basi menjadi semacam relasi sosial yang tulus, yang didasari pada saling menghargai.

ditengah keriuhan kota bandung yang, saya sendiri tidak begitu suka, disebuah minggu siang yang cerah, ditempat yang teduh itu, ternyata saya menemukan sudut kota yang membuat saya tetap semangat, berjalan di tengah kemajuan jaman yang kadang membuat saya frustasi.

setidaknya kini, saya bisa mengingat waktu singkat kemarin itu dalam memori saya, menjadi semacam ruang yang bisa saya panggil lagi, jika rutinitas sudah membosankan dan saya butuh sebuah momen untuk tersenyum tulus dan bahagia.
we are a big familySocialTwist Tell-a-Friend

license

Creative Commons License
blog wikupedia by wikupedia is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-Share Alike 3.0 Unported License.
Based on a work at writeaweek.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at wikubaskoro@gmail.com.