Rabu, 12 Mei 2010

sesusah-susahnya dead line nulis toh kelar juga, seandainya mengurus perasaan semudah menulis...

judul diatas mungkin terlihat sombong ketika saya mengataan bahwa menulis itu mudah, tapi nanti dulu, saya ceritakan dulu bagaimana samapai akhirnya saya menemukan kombinasi kata seperti diatas yang tersusun menjadi sebuah kalimat yang, bagi saya menjadi semacam pelepas galau kalo lagi bingung.

hampir setengah tahun saya menjadi penulis profesional, yang artinya saya menulis untuk diberi fee atau bayaran tertentu atas profesi saya sebagai penulis. dan telah berpuluh-puluh deadline yang saya lewati. kadang deadline itu begitu menakutkan sampai saya gak bisa berkutik dan jungkir balik, bolak-balik agar inspirasi bisa dateng dan ide untuk menulis bisa membuat deadline saya terlewati dengan sukses.

dealine sejatinya memang tengat waktu, yang seharusnya bisa kita atur untuk tidak ada, sebagai penulis sebetulnya bisa mengatur waktu sedemikian mungkin jadi tulisan bisa selesai tepat waktu, tapi jadwal menulis saya ternyata cukup ketat, setiap hari kerja (minus sabtu dan minggu) saya harus menyusun 2 artikel (minimal) bisa 3 kalo lagi lancar untuk salah satu situs dimana saya bekerja, dan setiap senin dan kamis saya harus menyelesaikan tulisan lain untuk orderan menulis di tempat yang berbeda.

dari jadwal itu ternyata deadline memang tidak bisa saya atur semudah itu, tiap hari selalu saja waktu menulis itu keluar jadwal dengan berbagai hal dan alasan yang bisa membuatnya seperti itu.

nah, lalu apa hubungannya dengan perasaan?

terkadang saya menulis dengan diliputi rasa galau, entah karena sebuah hal atau tiba-tiba saja saya merasa galau. galau ini sepertinya memang sudah menjadi bagian dari hidup saya. nah, kombinasi antara deadline menulis dan kegalauan memang biasanya adalah kombinasi maut yang selalu sangat sulit untuk dihadapi, bisanya kombinasi ini membuat saya berlari meracau di status FB, yang sebenernya cukup memalukan.

tapi apa boleh buat, kadang saya benar-benar tidak bisa menulis satu kata pun, sehingga harus dipancing dengan mengetikkan kalimat dimanapun, termasuk di status.

dalam kombinasi maut itu, biasanya akan berakhir dengan kata-kata yang menjadi judul tulisan ini: 

sesusah-susahnya dead line nulis toh kelar juga, seandainya mengurus perasaan semudah menulis...


betul, ternyata dadline menulis lebih mudah saya lewati, kadang waktu saya untuk menyelesaikan tulisan terpatok harus diselesaikan dalam waktu 30 menit, dengan susah payah biasanya saya tengat waktu itu bisa saya lampui, minimal tidak telat jauh dan tulisan saya bisa dikirimkan tepat waktu.

nah, yang tersisa biasanya hanya perasaan galau itu, perasaan tidak menentu yang kadang alasannya juga gak bisa saya temukan. mengurus perasaan ternyata memang tidak semudah menulis, perasaan itu bisa berhubungan dengan diri saya sendiri dan bisa juga berhubungan dengan orang lain. ketika mengelola perasaaan sendiri saja sudah sulit maka mengelola perasaan yang berhubungan dengan relasi kita dengan orang lain juga menjadi sulit.

menulis dan mengelola perasaan punya kemiripan, dua-duanya memerlukan ekstra kerja keras, sampai sekarang saya sendiri masih merasa bahwa menulis itu bisa dilewati dengan lebih mudah dibandingkan dengan perasaan galau, meski keduanya sama-sama sering saya hadapi, ternyata perasaan jauh lebih sulit ditaklukkan dari sederetan kata yang menunggu untuk dirangkai.

menulis adalah pilihan hidup saya, begitu juga dengan relasi dengan orang lain yang juga menjadi pilihan saya. meski sulit, dan penuh resiko, agaknya
saya harus kembali membaca tulisan-tulisan saya sendiri bahwa pilihan memang selalu penuh resiko, yang lebih penting sebenarnya bukan hanya tentang pilihan itu, tetapi bagaiamana kita menjalanai segala keadaan setelah pilihan itu dibuat.

semoga saya bisa tetap terus menulis dan membari manfaat, sama seperti, semoaga saya bisa menjadi lebih dewasa dan mampu mengelola perasaan saya dengan labih ceria...

selamat menulis, dan selamat bersahabat dengan perasaaan...
sesusah-susahnya dead line nulis toh kelar juga, seandainya mengurus perasaan semudah menulis...SocialTwist Tell-a-Friend

Kamis, 06 Mei 2010

tentang relasi dan tentang keruwetan

yang paling menyebalkan dari sebuah relasi, baik itu pertemanan, sahabat, kenalan, pacar atau what ever it is, bagi saya adalah bahwa kita berpikir dan berprediksi.

misalnya begini, kalo kita ketemu teman kita, terus mukanya cemberut, nada suaranya tidak merdu seperti biasanya, maka kita berprediksi, jangan-jangan dia itu lagi marah, jangan-jangan dia itu lagi kesel, sama siapa ya, sama saya, sama temannya, sama keluarga sama... dan begitulah berbagai prediksi memenuhi otak kita.

atau, kalo kita bertemu, terus kok suasananya agak tidak enak, kita kemudian berpikir tentang berbagai hal yang kita rasakan. jangan-jangan ini, jangan-jangan itu, wah kalo gini gimana, kalau gitu gimana ya...

otak kita terus berputar dan berhenti sampai ketika kita kemudian menanyakan pada teman kita, sahabat kita atau relasi kita itu. 

'kamu kenapa?'

jawab teman kita, 'ga pa pa kok'

'bener nih?'

'iya'

dengan jawaban iya, seharusnya persoalan menjadi selesai. tapi otak kita ternyata tidak berhenti disana, prediksi-prediksi masih terus berjalan dan mondar-mandir di kepala kita. masa iya, gak ada apa-apa, kalo iya gimana, kalo cuma pura-pura gimana, kalo sebenernya ada persoalan tapi di tutupi gimana.

prediksi itu secara alamiah terus terjadi dan menyebabkan proses komunikasi menjadi macet. dan kemampuan membaca keadaan pun menjadi tumpul, gerak-gerik menjadi tidak bisa terbaca, senyuman menjadi aneh, dan tatapan mata seperti asing. 

sampai disini, saya sering merasa lelah, merasa bahwa relasi dengan orang lain itu sangat sulit, entah bagi orang lain, tapi bagi saya prediksi dan pikiran ini terus saja mondar-mandir dan tidak bisa pergi. kadang kala diam menjadi jawaban, tapi kadang diam juga tidak menyelesaikan apa-apa.

menjadi dewasa dalam menjalin relasi memeng membutuhkan usaha yang, ternyata sangat tidak mudah. kadang kita menjadi reaktif atas suatu hal, tanpa tau alasan atau sebab kenapa hal itu bisa terjadi. kadang-kadang menjadi reaktif lebih mudah daripada menjadi perenung dan menganalisa semuanya sebelum bertindak.

kadang kala saya juga menjadi merasa sangat tidak cocok hidup di dunia yang penuh relasi ini, sering merasa kecapaian dengan berbagai prediksi dan persepsi yang terus ada di pikiran saya. selalu merasa tidak enak kalau-kalau relasi atau teman saya merasa saya sakiti atau tersinggung.

dan yang lebih susah lagi, ternyata teman saya itu banyak (tanpa bermaksud sombong), jadi hidup dalam berbagai prediksi itu mejadi sangat membuat ribet, seperti jalan dengan beribu persimpangan yang tiba-tiba ada di depan, di belakang, di kiri dan di kanan, di samping, di mana-mana.

seperti dikepung oleh sesuatu yang kita sendiri gak tau itu apa.

alhasil, kadang saya merasa gamang dalam membangun relasi, kadang menjadi terpuruk dan menyerah, bahwa yang namanya membangun relasi itu ternyata gak cocok buat saya. 

tapi, teman-teman saya terus bertambah, mereka baik-baik sama saya, gak semua sih, tapi wajarlah, toh saya juga kan gak baik sama semua orang, jadi wajar kalo ada orang yang gak baik sama saya. satu tempat ke satu tempat lain saya mendapat teman baru, relasi baru, ada yang relasinya intens, ada yang biasa aja, ada yang sangat intens. semuanya, terus terang tetap membuat saya kebingungan.

tapi, ternyata teman-teman saya tetap disana, tetap menegur saya, tetap mengajak saya nonton konser musik, tetap mengirim sms pada saya, tetap me-RT tweet saya, membalas DM di Twitter saya, tetap membaca blog saya, dan tetap meng-klik likes pada status saya di Facebook.

tetap menegur saya di jalan, tetap berteriak memanggil kalau melihat saya sedang jalan bersama sukab, motor saya yang paling saya cintai itu. 

mereka tetap hadir di semua persimpangan dan simpul dalam kehidupan saya.

meski masih terus kebingungan, semoga saja teguran teman-teman saya itu bisa menjadi sebuah penjelasan paling masuk akal dan membuat saya lebih dewasa lagi dalam membangun relasi. 

semoga...
tentang relasi dan tentang keruwetanSocialTwist Tell-a-Friend

Sabtu, 01 Mei 2010

every love has story, thats why they call it love story

saya agak lupa sebenarnya apakah saya sudah pernah menceritakan tentang flim berjudul 'french film' atau belum, tapi intinya film itu bercerita tentang kisah cinta.

bahwa kisah cinta itu harus punya semacam alur, semacam adegan pembuka, adegan utama dan adegan penutup. bahwa cinta yang sempurna itu selalu punya cerita, selalu menjadi bagian cerita dan selalu membuat cerita itu sendiri.

cinta adalah cinta itu sendiri, tetapi ketika masuk dalam kehidupan seseorang maka ia membuat kisah, membuat cerita dan menuturkan berbagai kejadian yang bersentuhan dengan manusia lewat kisah-kisahnya.

dan ingatan akan film 'french film' tiba-tiba saja muncul bersamaan dengan percakapan saya dengan seseorang dari luar angkasa disebuah jalan-jalan menjelang sore hari, bahwa cinta lebih menyenangkan dengan sebuah kisah, bisa kisah pendekatan yang meragukan, menggalaukan tapi seru dan menyenangkan, bisa juga kisah penuh deg-degan, bisa juga kisah penuh dengan kejutan dan bisa juga kisah gabungan semuanya.

pada intinya seitap cinta itu punya kisah, maka dari itu dinamakan kisah cinta.

lalu pertanyaan muncul, bagaimana dengan cinta tanpa kisah atau sebaliknya, kisah tanpa cinta?

sebenarnya saya ingin mengajukan pertanyaan yang sama ini pada teman saya yang dari luar angkasa itu, tapi belum sempat, mungkin nanti pada pertemuan selanjutnya, saya akan bertanya tentang ini. sementara itu kini saya hanya bisa menerka-nerka saja, karena saya sendiri sebenarnya tidak tau jawaban atas pertanyaan itu.

cinta tanpa kisah bisa jadi hambar, tapi tidak selamanya juga cinta punya kisah. adakalanya cinta pun menjadi kesepian dan mendiami kesendirian, tanpa kisah tanpa cerita, tapi ada kalanya pula kisah mengalir dalam hidup tanpa cinta, kisah yang berjalan sendirian dalam kesunyian dalam kegalauan.

adakalanya seseorang memilih untuk menjalani satu saja dan tidak keduanya dan memilih, cinta atau kisah, kisah atau cinta, bukan keduanya.

hidup itu pilihan, meski segala sesuatunya berjalan dan mengalir begitu saja, tetapi pilihan tetap harus dibuat, adakalanya takdir memang menghampiri kita, tapi takdir pun punya batas, dan dalam batasnya, takdir tetap menuntut kita untuk mengambil keputusan dan melakukan pilihan.

saya sendiri memilih untuk mempunyai kisah dalam cinta saya, dan mempunyai cinta dalam kisah saya. sampai sekarang itu saja sudah cukup bagi saya, biar perjalanan selanjutnya mengikuti saya, biar kisah ini menjadi lebih seru dan menarik, karena kebahagiaan kadang tidak datang berlama-lama, namun muncul sebentar dengan penuh kejutan dan selalu kembali pada saat yang sangat tepat.

tidak ada yang mutlak dalam hidup ini, jadi saya pun masih mencoba berpikir tentang kisah sebagai kesendirian dan cinta sebagai kesendirian, karena saya yakin dengan begitu banyak pilihan yang ada di dunia ini, dua hal ini bisa jadi memilih untuk berdiri sendiri-sendiri.

tapi saat ini saya sedang menikmati berbagai kisah menyenangkan ini dan percaya dengan kalimat :

"every love has story, that's why they call it love story"
every love has story, thats why they call it love storySocialTwist Tell-a-Friend

license

Creative Commons License
blog wikupedia by wikupedia is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-Share Alike 3.0 Unported License.
Based on a work at writeaweek.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at wikubaskoro@gmail.com.